Sholat Menghadap Sutroh

​Bimbingan Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa Sallam-
Untuk Sholat Menghadap Sutroh
Ditulis oleh:
Abu Zakaria Irham bin Ahmad Al-Jawiy
-Semoga Alloh mengampuni dosa-dosa dan kesalahannya-
[Purworejo, Jum’at, 21 Dzulqo’dah 1434]
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا
من يهد الله فلا مضل له, ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له،
وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. أما بعد:
 
Yang dimaksud dengan sutroh adalah sesuatu yang diletakkan atau dijadikan oleh seorang yang sholat di hadapannya untuk mencegah orang lain lewat melalui depannya. Hal itu bisa berupa tembok, tiang, tongkat, atau benda-benda lainnya yang memenuhi syarat untuk dijadikan sutroh.
Hukum meletakkan sutroh adalah wajib berdasarkan sabda Nabi –Shollallohu ‘alaihi wa sallam-:
لَا تُصَلِّ إِلَّا إِلَى سُتْرَةٍ، وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ…..
“Janganlah kalian sholat kecuali menghadap ke sutroh, dan janganlah kau biarkan seorangpun lewat di depanmu ketika sholat. [HR. ibnu Huzaimah dengan sanad yang jayyid/ bagus dari ibnu umar]
Hal ini dikarenakan apabila seorang sedang sholat kemudian ada sesuatu lewat di depannya maka sholatnya bisa terputus, sebagaimana dijelaskan oleh Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam sabda beliau:
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي، فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلَاتَهُ الْحِمَارُ، وَالْمَرْأَةُ، وَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُ
“Jika salah seorang diantara kalian sholat, sesungguhnya menghalanginya (dari terputus) jika ada di depannya semacam akhir pelana (yang dijadikan sutroh), apabila tidak ada ada di depannya semacam akhir pelana maka akan memutus sholatnya (jika lewat di depannya): keledai, perempuan, dan anjing hitam.” (HR Muslim: 510, dari abu Dzar)
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa sholat akan terputus (batal) jika salah satu dari tiga hal yang disebutkan dalam hadits tersebut lewat di depan orang yang sholat tidak menghadap sutroh. Hal ini menunjukkan bahwa mengambil sutroh hukumnya wajib.
Oleh karena itulah Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- senantiasa menancapkan tombak di depannya ketika ingin melakukan sholat, sebagaimana diriwayatkan oleh ibnu Umar:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيدِ، أَمَرَ بِالْحَرْبَةِ فَتُوضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَيُصَلِّي إِلَيْهَا. وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ.
“Bahwasanya Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- biasanya jika keluar untuk melaksanakan sholat ‘id memerintahkan untuk membawa semacam tombak sehingga ditancapkan di depan beliau dan beliau sholat menghadap kepadanya,dan manusia (sholat) di belakang beliau“. [HR. Al-Bukhory dan Muslim]
Telah berfatwa tentang wajibnya meletakkan sutroh bagi orang yang sholat: Ibnu ‘Awanah, Syaikh Al-Albany, dan Syaikh Muqbil –Rohimahumulloh- serta Syaikhuna Yahya Al-Hajury –Hafidhohulloh.
Adapun jumhur ulama (mayoritas ulama), mereka berpendapat bahwa hukum mengambil sutroh mustahab, tidak sampai derajat wajib; jika dilaksanakan maka mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak apa-apa. Mereka berdalil dengan beberapa hadits yang menunjukkan bahwa Nabi –Shollallahu ‘alaihi wa sallam- sholat tidak menghadap sutroh. Akan tetapi hadits-hadits yang mereka jadikan dasar semuanya dho’if. Memang ada satu hadits yang shohih, tetapi hadits tersebut tidak bisa menunjukkan maksud yang jelas dan tegas.
Hadits tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam al Bukhory (493) yang berbunyi:
وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ،
“Dan Rosululloh –Shollallahu ‘alaihi wa sallam- sholat mengimami manusia di mina tanpa meghadap ke tembok.”
Kami katakan bahwa hadits ini tidak jelas dan tegas untuk dijadikan dalil permasalahan karena pernyataan ibnu ‘Abbas bahwa Rosul –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- tidak sholat menghadap tembok tidaklah menunjukkan bahwa beliau tidak menghadap pada sutroh yang lain selain tembok. Bahkan kemungkinan adanya sutroh selain tembok sangat besar, berdasarkan hadits-hadits yang lain. Dan merupakan kaidah ushul fiqih yang diakui bahwa jika ada dalam suatu dalil kemungkinan lain yang tidak bisa ditiadakan maka gugurlah pendalilan dengannya.
Jadi, pendapat jumhur yang menyatakan bahwa mengambil sutroh bagi orang yang sholat adalah sekedar mustahab pendapat yang lemah.
Wajibnya mengambil sesuatu sebagai sutroh ketika sholat ini berlaku di setiap tempat, baik itu di Makkah maupun yang lainnya, sebagaimana ditegaskan oleh imam Asy-Syafi’I, Ahmad, dan Al Bukhory. Sebab, tidak ada satu dalil pun yang shohih menjelaskan bahwa Makkah memiliki kekhususan dari sisi gugurnya kewajiban mengambil sutroh. Bahkan Rosululloh –Shollallahu ‘alaihi wa sallam- ketika haji Wada’ dan sholat di makkah, beliau tetap mengambil sebatang tombak sebagai sutroh beliau. [HR. Al-bukhory: 501 dari Abu juhaifah]
Seseorang yang sholat menghadap sutroh disunnahkan untuk mendekat kepada sutroh tersebut, sebagaimana disebutkan dalam hadits Sahl bin Abi Hatsmah bahwasanya Rosululloh bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا، لَا يَقْطَعْ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلَاتَهُ.
“Jika salah seorang kalian sholat menghadap ke sutroh maka hendaklah mendekat kepadanya, sehingga syaithon tidak bisa untuk memutus sholatnya”. [HR. Abu Dawud dengan sanad yang shohih, telah menshohihkannya Syaikh Al-Albany]
Berapa kadar kedekatan seorang yang sholat dengan sutrohnya?
Kadar kedekatan yang disunnahkan adalah sepanjang tiga dziro, jika diukur dari tempat berdiri. Hal ini sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhory (506) dari Bilal –Rodhiyallohu ‘anhu- bahwa Nabi -Shollallohu ‘alaihi wasallam- ketika masuk ke dalam Ka’bah dan sholat, menjadikan jarak antara diri beliau dengan tembok sepanjang tiga dziro’.
Dziro’ dihitung dari ujung jari tangan sampai siku.
Adapun jika diukur dari tempat sujud, maka jarak yang disunnahkan antara tempat sujud dan sutroh adalah selebar jalan untuk lewat kambing, sebagaimana ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan dari Sahl bin Sa’d –Rodhiyallohu ‘anhu- bahwa beliau berkata:
كَانَ بَيْنَ مُصَلَّى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ الْجِدَارِ مَمَرُّ الشَّاة
“Antara tempat sholat Rosululloh -Shollallohu ‘alaihi wasallam- dan tembok adalah selebar jalan untuk lewat kambing.” [HR Al-Bukhory: 496, Muslim: 508]
Kadar tinggi dan lebarnya sutroh.
Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Aisyah –Rodhiyallohu ‘anha- bahwa Rosululloh -Shollallohu ‘alaihi wasallam- pada peperangan Tabuk ditanya tentang sutroh orang yang sholat, maka beliau menjawab:
مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْل
“Semisal akhir dari pelana kendaraan (onta).” [HR. muslim: 500]
Imam Ibnu Qudamah -Rohimahulloh- mengatakan: “Yang jelas dari (hadits tersebut) bahwa (batasan semisal akhir pelana kendaraan) dalam rangka pendekatan saja, bukan dalam rangka penentuan batasan yang baku. Sebab, Rosululloh -Shollallohu ‘alaihi wasallam- memperkirakannya dengan akhir pelana, padahal akhir pelana itu berbeda-beda tinggi dan pendeknya. Terkadang setinggi satu dziro’, terkadang kurang. Oleh karena itu, apa saja yang (tingginya) mendekati satu dziro’ sah untuk dijadikan sutroh. Wallohu a’lam. [Al-Mughni: 3/82]
Syaikhuna Yahya Al-Hajury –Hafidzohulloh- menasehatkan agar sutroh itu tidak kurang dari dua pertiga dziro’, dan ini adalah batasan terpendek menurut beliau.
Adapun lebar sutroh, tidak ada dalil yang membatasinya. Selama benda tersebut bisa dilihat dengan jelas oleh orang yang lewat, sah untuk dijadikan sutroh. [al-Mughny: 3/83, fathul’allam: 1/612]
Apakah boleh menjadikan mushhaf atau kitab-kitab ilmiah sebagai sutroh?
Telah datang pada permasalahan ini sebuah atsar dari Ibrohim an-Nakho’iy Rohimahulloh bahwa beliau berkata:
كَانُوا يَكْرَهُونَ أَنْ يُصَلُّوا وَبَيْنَ أَيْدِيهِمْ شَيْءٌ حَتَّى الْمُصْحَفُ
“Dulu mereka membenci untuk sholat dan di depan mereka ada sesuatu, walaupun (sesuatu itu berupa) mushhaf.” [Diriwayatkan oleh abu Dawud dalam kitab Al-Mashohif dengan sanad shohih]
Akan tetapi atsar di atas tidaklah bisa dijadikan hujjah untuk mengatakan terlarangnya atau dibencinya perkara tersebut secara mutlak. Sebab Ibrohim An-Nakho’iy tidak bertemu dengan para Sahabat Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam-.
Oleh karena itu, permasalahan butuh perincian:
Apabila ketika kitab-kitab tersebut dijadikan sutroh menyebabkan terhinanya  dikarenakan orang-orang melangkahinya, atau jatuh, atau yang lainnya, maka yang demikian ini tidak boleh dilakukan.
Akan tetapi jika kitab-kitab tersebut aman, tidak jatuh, tidak pula dilangkahi, maka yang demikian ini boleh-boleh saja. Inilah perincian yang diberikan oleh Syaikhuna Muhammad Hizam –hafidzohulloh- sebagaimana kami dengar dalam pelajaran beliau.
Bagaimana dengan sandal?
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -Rohimahulloh- berkata: “Tidak diragukan bahwa sandal adalah benda yang mempunyai bentuk dan berukuran besar, tetapi saya memandang bahwa menjadikannya sebagai sutroh tidaklah pantas. Sebab, sandal itu secara adat adalah benda yang dianggap kotor, sehingga tidak pantas untuk berada di depanmu dalam keadaan kamu berdiri di hadapan Alloh ‘Azza wa Jalla. Oleh karena itu Nabi –Shollallohu ‘Alaihi wa sallam- melarang seorang yang sedang sholat untuk meludah ke arah depannya. Beliau menjelaskan sebab larangan tersebut dengan sabdanya:
فإن الله تعالى قبل وجهه
“Karena sesungguhnya Alloh di depannya.” [Majmu’ Fatawa wa Rasail: (13/ 325)]
Apabila seseorang tidak mendapatkan sutroh, apakah cukup dengan menjadikan garis atau ujung sajadah sebagai sutroh?
Dalam permasalahan ini telah datang sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah dan yang lainnya, dari Abu Huroiroh bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa sallam- bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ، فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ شَيْئًا، فَلْيَنْصِبْ عَصًا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ عَصًا، فَلْيَخُطَّ خَطًّا، وَلَا يَضُرُّهُ مَا مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ.
“Jika salah seorang dari kalian sholat, maka letakkanlah di depannya sesuatu. Apabila tidak mendapatkannya, maka tegakkanlah sebuah tongkat. Apabila tidak ada tongkat bersamanya, maka garislah sebuah garis, dan tidak memadhorotkannya (setelah itu) apa-apa yang lewat di depannya.”
Hadits ini, seandainya saja shohih, tentu merupakan nash dalam permasalahan yang tidak boleh kita selisihi. Akan tetapi hadits tersebut dhoif, karena riwayatnya berporos pada Ismail bin Umayyah yang telah goncang dalam meriwayatkan. Ditambah lagi dengan keadaan Syaikhnya yang majhul (tidak dikenal). Kalau saja selamat dari kegoncangan, maka keberadaan perowi yang majhul ini cukup untuk menjadikan hadits dho’if. Oleh karena itu, perkataan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitabnya “Bulughul Marom” bahwa hadits tersebut hasan tidaklah bisa diterima.
Imam An-Nawawy berkata: “Para huffadz mengatakan: Hadits tersebut dho’if karena kegoncangan yang ada padanya. Diantara yang men-dho’ifkan adalah: Sufyan bin ‘uyainah –sebagaimana dihikayatkan oleh abu Dawud-. Juga telah memberikan isyarat tentang kedho’ifannya: Asy-Syafi’iy dan Al-Baihaqy. Bahkan yang lainnya dengan tegas menyatakan bahwa hadits tersebut dho’if.” [Al-Khulashoh: 1/520]
Setelah kita ketahui kedhoifan hadits ini, jelaslah bagi kita bahwa garis tidaklah sah untuk dijadikan sebagai sutroh karena tidak memenuhi kriteria yang Rosululloh -Shollallohu ‘alaihi wasallam- berikan dalam sabdanya:
مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْل
“Semisal akhir dari pelana tunggangan (onta).” [HR. muslim: 500].
Telah menyatakan ketidaksahan garis sebagai sutroh: Imam Malik, Asy-Syafi’I, Abu Hanifah, Al-Laits, Ibnu ‘Uyainah, dan yang lainnya.
Fatwa inilah yang dipilih oleh Syaikhuna Yahya Al-Hajury dan Syaikhuna Muhammad bin Hizam –Hafidzohumalloh-. [Fathul ‘Allam: 1/624]
Sutroh imam adalah sutroh bagi orang yang bermakmum kepadanya.
Maksudnya, ketika sholat berjamaah cukup imam yang sholat menghadap sutroh. Adapun para makmum tidak disyareatkan kepada mereka untuk mengambil sutroh sendiri-sendiri. Hal ini dikarenakan Rosululloh –Shollallohu ‘Alaihi wa sallam- ketika mengimami para sahabat tidak memerintahkan kepada mereka agar masing-masing makmum sholat menghadap sutroh.
Juga telah diriwayatkan oleh imam Al-Bukhory dan Muslim bahwa ketika para sahabat sholat di belakang Rosululloh –Shollallohu ‘Alaihi wa sallam- di Mina, datanglah Ibnu abbas mengendarai keledai dan lewat di depan shof para shohabat. Dalam kondisi demikian, tidak ada satupun dari sahabat yang menegurnya. Hal ini menunjukkan bahwa lewatnya seseorang di depan shof para makmum tidak memutuskan sholat, sebab sutroh para makmum telah dicukupkan dengan sutroh imam.
Oleh karena itu, ketika ada sesuatu yang memutuskan sholat lewat diantara imam dan sutrohnya, batallah sholat imam, demikian pula sholat para makmum. [al-mughny: 3/81]
Bagaimana dengan makmum yang masbuq?
Selama makmum sholat bersama imam, maka hukumnya seperti yang telah dijelaskan di atas. Akan tetapi ketika imam menyelesaikan sholatnya dan si makmum yang masbuq tadi berdiri menyempurnakan rokaat yang tertinggal, diwajibkan baginya untuk mencari sutroh. Sebab saat itu dia adalah seorang yang sholat sendiri (munfarid) sehingga terkena kewajiban untuk sholat menghadap sutroh.
Pada keadaan seperti ini, dia bisa menjadikan orang yang di depannya sebagai sutroh, atau mendekat ke dinding, atau perkara-perkara lainnya yang bisa dia lakukan. Namun disyaratkan bahwa hal-hal tersebut tidak mengeluarkannya dari bentuk sholat. Dalam artian; gerakan yang dilakukan tidak terlalu banyak sehingga orang yang melihatnya tidak menyangka bahwa dia bukan orang yang sholat ketika melakukan gerakan-gerakan tersebut.
Apabila syarat ini tidak bisa terpenuhi maka orang tersebut tetap saja di tempatnya dengan berusaha semampunya untuk mencegah orang lewat di depannya. Alloh Ta’ala telah berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertaqwalah kepada Alloh sebatas kemampuan kalian.” [At-Taghobun: 16]
Untuk mengatasi hal yang seperti ini, diperbolehkan bagi seorang makmum masbuq untuk menyiapkan sutrohnya sebelum masuk sholat sehingga ketika imam telah salam dia bisa dengan tenang melanjutkan sholatnya. Demikian fatwa Syaikhuna Yahya Al-Hajury –hafidzohulloh- sebagaimana kami dengar dalam pelajaran-pelajaran beliau.
Apa yang dilakukan oleh seorang yang sedang sholat ketika ada sesuatu hendak lewat di depannya (antara dia dan sutroh)?
Rosululloh –Shollallohu ‘Alaihi wa sallam- telah bersabda:
إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلْيَدْرَأْهُ مَا اسْتَطَاعَ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ
“Jika salah seorang dari kalian sholat, jangan biarkan seorangpun lewat di depannya, hendaknya dia menahan (orang yang mau lewat tersebut) semampu mungkin,  jika dia enggan (tetap ingin lewat) maka perangilah, karena sesungguhnya (sedang bersamanya) syaithon.” [HR. Bukhory dan Muslim, dari Abu Sa’id]
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan wajibnya seorang yang sholat untuk menahan orang yang hendak lewat di depannya. Tentunya, usaha untuk menahan tersebut dilakukan secara bertahap; jika cukup dengan kelembutan, maka tidak perlu dilakukan kekerasan.
Usaha untuk menahan sesuatu lewat di depan orang yang sholat mencakup juga anak kecil bahkan binatang. Hal ini ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari Ibnu ‘Abbas dengan sanad yang shohih bahwasanya seekor kambing hendak lewat di depan Rosululloh –Shollallohu ‘Alaihi wa sallam- (dan beliau saat itu sedang sholat) maka beliau cepat-cepat bergerak ke depan sampai-sampai perut beliau menempel ke tembok, sehingga kambing itupun lewat di belakang beliau.
Para ulama berdalil dengan hadits di atas bahwa binatangpun ditahan ketika hendak lewat. Apabila tidak memungkinkan, maka lakukanlah sebagaimana yang Rosululloh –Shollallohu ‘Alaihi wa sallam- lakukan, yaitu dengan maju ke depan sehingga binatang tersebut lewat di belakangnya.
Dosa orang yang lewat di depan orang lain yang sedang sholat.
Dipahami dari pembahasan di atas bahwa lewat di depan orang yang sholat adalah perbuatan yang sangat terlarang. Bahkan telah datang dalil khusus yang menunjukkan besarnya dosa lewat depan orang yang sedang sholat.
Imam al-Bukhory dan Muslim meriwayatkan dari Abu Juhaim ibnil Harits bahwa Rosululloh –Shollallohu ‘Alaihi wa sallam- bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ المَارُّ بَيْنَ يَدَيِ المُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ، لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Seandainya saja orang yang lewat di depan orang yang sholat tahu dosa yang ditanggungnya, maka dia berhenti (menunggu) selama empat puluh lebih baik daripada lewat di depannya.”
Abu Nadhr setelah meriwayatkan hadits ini berkata: “Aku tidak tahu apakah beliau berkata: Empat puluh hari, atau empat puluh bulan, atau empat puluh tahun.”
Imam Ibnu Hazm berkata: “Para ulama telah sepakat akan haramnya lewat diantara orang yang sholat dan sutrohnya, dan sepakat bahwa orang yang melakukannya telah berdosa.” [Marotiibul Ijma’: 35]
Akibat lewatnya seseorang atau binatang di depan orang yang sholat.
Lewatnya hal-hal ini di depan orang yang sholat berdampak pada sholat orang yang dilewati tersebut. Tidaklah Rosululloh –Shollallohu ‘Alaihi wa sallam- memerintahkan orang yang sholat untuk menahan sebisa mungkin orang yang mau lewat di depannya, demikian pula melarang seseorang untuk lewat di depan orang yang sholat kecuali karena adanya dampak yang besar padanya.
Dampak tersebut bisa berupa berkurangnya kesempurnaan sholat yang dilakukan, atau bahkan bisa sampai batal secara keseluruhan.
Telah berlalu di awal pembahasan penyebutan hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar, bahwa Rosululloh –Shollallohu ‘Alaihi wa sallam- telah bersabda:
فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلَاتَهُ الْحِمَارُ، وَالْمَرْأَةُ، وَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُ
“Apabila tidak ada ada di depannya semacam akhir pelana (sebagai sutroh) maka akan memutus sholatnya (jika lewat di depannya): keledai, Al mar-ah (perempuan yang sudah baligh), dan anjing hitam.” (HR Muslim: 510, dari abu Dzar)
Hadits ini dengan jelas menyatakan bahwa sholat akan terputus (batal) apabila salah satu dari ketiga hal tersebut lewat di depan orang yang sholat tidak menghadap sutroh, atau orang tersebut telah menghadap ke sutrah tapi hal-hal tadi lewat di antara dirinya dan sutroh.
Telah berfatwa tentang batalnya sholat jika terjadi perkara yang demikian ini: Anas bin Malik, Ibnu Umar, dan diikuti oleh: ‘Atho’, Al-Hasan Al-Bashry, Ahmad, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah serta Ibnul Qoyyim dan ulama-ulama lainnya. [Al-Ausath: 5/100-, Fathul ‘Allam: 1/618]
Perlu ditekankan di sini, bahwa anak-anak perempuan yang belum baligh tidaklah membatalkan sholat jika lewat, walaupun hal tersebut tetap berdampak bagi kesempurnaan sholat orang yang dilewati. Sebab kata-kata Al Mar-ah tidaklah dipakai dalam bahasa arab kecuali bagi perempuan yang telah baligh.
Apakah jika perempuan baligh lewat di depan perempuan lain yang sedang sholat juga membatalkan sholatnya?
Sebagian ulama menyatakan bahwa sholat tetap sah. Mereka berdalil dengan qiyas; sebagaimana laki-laki ketika lewat di depan laki-laki yang sedang sholat tidak membatalkan sholatnya, demikian pula seorang perempuan ketika lewat depan perempuan lain yang sedang sholat.
Akan tetapi, qiyas ini tidaklah bisa diterima karena berbenturan dengan konteks hadits. Rosululloh –Shollallohu ‘Alaihi wa sallam- telah mengatakan bahwa seorang perempuan baligh jika lewat depan orang sholat maka sholatnya terputus. Hal ini mencakup baik yang sholat itu laki-laki atau perempuan.
Kalau qiyas dalam permasalahan ini dibenarkan maka seharusnya juga dikatakan bahwa seorang laki-laki jika lewat di depan perempuan yang sedang sholat maka batallah sholatnya. Dan kami belum mendapati seorang ulamapun yang berpendapat seperti ini.
Dengan demikian, kita ketahui bahwa yang benar dalam permasalahan ini adalah pendapat yang menyatakan batalnya sholat ketika perempuan baligh lewat di depan perempuan lain yang sedang sholat. Telah berfatwa dengannya: Asy Syaikh Ibnu Baz dan Al-’Utsaimin –Rohimahumalloh- serta Syikhuna Muhammad Hizam –Hafidzohulloh-. [Fatawa Ibnu Baz: 11/ 90, Fatawa ‘Utsaimin: 13/318]
Inilah pembahasan yang bisa kami uraikan seputar permasalahan sutroh, semoga bisa memberikan manfaat bagi kita semua, teriring doa semoga Alloh memberikan hidayah-Nya kepada saudara-saudara kita kaum muslimin untuk kembali kepada agamanya dan tunduk kepada syareat yang telah ditetapkan oleh Alloh Pencipta semesta.
 
سبحانك اللهم وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك

Hukum Mencukur Jenggot

Fatwa Syaikh Muhamad bin Sholih Al-Utsaimin رحمه اللّٰه

Pertanyaan:

Mohon pencerahan dari yang mulia mengenai Hukum Mencukur Jenggot atau mengambil (memendekkan, mencabut) serta apa saja batasan jenggot yang Syar’i itu?

Jawaban:

Mencukur Jenggot diharomkan karena merupakan perbuatan maksiat kepada Rosululloh صلى اللّٰه عليه وسلم. Dalam hal ini beliau bersabda:

أعْفُوا اللِّحَى وأحْفوا الشواربَ٠

“Perbanyaklah (perlebatlah) jenggot dan potonglah kumis”. (Sunan an-Nasa’i,  Kitabu az-zinah (5046))

Juga karena hal itu keluar dari petunjuk (cara hidup) para Rosul menuju cara hidup orang orang Majusi dan orang orang Musyrik.

Adapun batasan Jenggot,  sebagaimana yang disebutkan oleh ahli bahasa yaitu (mencakup) rambut wajah,  pada dua tulang dagu dan dua pipi. Maka setiap rambut yang tumbuh di atas dua pipi,  dua tulang dagu,  dan dagu adalah termasuk Jenggot.

Adapun mengambil sedikitpun darinya termasuk perbuatan maksiat karena Rosululloh صلى اللّٰه عليه وسلم bersabda: أعْفوا اللحى (Perbanyaklah/perlebatlah Jenggot), أرْجوْا اللحى  (biarkan Jenggot memanjang), (Perbanyaklah Jenggot), أوْفوْا اللحى (Sempurnakanlah – biarkan tumbuh lebat- Jenggot) .

Ini semua menunjukkan tidak boleh mengambil sedikitpun darinya. Namun,  kemaksiatan dalam hal itu berbeda beda, mencukur tentu lebih besar dosanya dari sekedar mengambil sebagiannya karena ia merupakan penyimpangan yang lebih serius dan jelas.

Kitab Risalah Fi Shifati Shalatin Nabiy, karya Syaikh Ibnu Utsaimin hal. 31.

Perkataan Terbaru Asy Syaikh Sholih Fauzan Tentang Asy Syaikh Yahya Al-Hajuri

Dialog melalui telepon ini direkam pada 2 Robi’ul Akhir 1438 Hijriyah.

Bertepatan tanggal 31 Desember 2016 Masehi

Lihat Rekaman Di Sini

TERJEMAH:
Penanya: Assalamu alaikum

Asy Syaikh: Wa alaikumus salam

Penanya: Thayyib, Syaikh Sholeh?

Asy Syaikh: Iya.

Penanya: Apakah bisa aku bertanya kepadamu suatu pertanyaan baarokallahu fiik?

Asy Syaikh: Iya.

Penanya: Thayyib wahai Syaikh aku ingin bertanya kepada engkau bahwa di sini di Amerika aku senang mendengar suara Syaikh Yahya Al Hajury akan tetapi didapati sebagian ikhwah memperingatkanku (agar tidak mendengar) dari Syaikh ini; apa nasehatmu kepadaku?

Asy Syaikh: Aku tidak tahu dari Hajuri akan tetapi aku tidak mendengar darinya melainkan kebaikan.

Penanya: Thayyib apakah engkau menasehatkan kepadaku untuk mendengar suara-suara dan muhadhorohnya?

Syaikh: Yang kamu bisa mengambil faidah daribha dengarkan darinya, dengarkanlah dia.

Penanya: Thayyib wahai Syaikh wa baarokallahu fiik apakah engkau mengetahui salah seorang di sini di Amerika para penuntut ilmu atau masyaikh di sini di Amerika?

Asy Syaikh: Aku tidak tahu demi Allah aku tidak tahu.

Penanya: Jazakallahu khairan wa Baarokallahu fiik.

Asy Syaikh: Thayyib Hayyakallah.

Tentang Hadits, tujuh yang tidak Mati dan tidak Musnah

Fatwa ​Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه اللّٰه

Beliau رحمه اللّٰه ditanya:

Tentang hadits Anas bin Malik dari Nabi صلى اللّٰه عليه وسلم bahwasanya beliau bersabda:

سَبْعَةٌ لاَ تَمُوْ تُ وَلاَ تَفْنِى وَلاَ تَذُوْقُ الْفَنَاءَ: النّارُ وَسكانُهَا، وَالّلوْحُ، وَالقَلَمُ، وَالكُرْسِيّ، وَالعَرْشُ٠

“Tujuh yang tidak akan mati dan tidak binasa dan tidak akan mengalami kebinasaan yaitu: Api Neraka dan para penghuninya, Lauhul Mahfudz, Al Qolam, Al Kursy, dan Al Arsy”.

Apakah hadits ini shohih ataukah tidak?

Beliau رحمه اللّٰه menjawab:

Khobar dengan lafadz seperti ini bukan dari ucapan Nabi صلى اللّٰه عليه وسلم, khobar itu tidak lain datang dari ucapan sebagian para ulama. Sesungguhnya Salaful Ummah beserta para Imam Imamnya dan seluruh Ahlus sunnah wal Jamaah sepakat bahwa dari sebagian makhluk (ciptaan Alloh) itu ada yang tidak hilang dan tidak musnah secara mutlak seperti Surga dan Neraka, dan juga Al Arsy dan lainnya. (Ini merupakan pembatilan terhadap pengakuan (kefanaan) musnahnya neraka yang dinisbatkan kepada Syaikhul Islam رحمه اللّٰه. Lihat kitab Kasyful Astar li Ibtholi Iddi’ai Fanaain Naar (menyingkap Tirai Tirai untuk Membatalkan Pengakuan/Tuduhan Tentang Musnahnya Neraka) karya Dr. Ali bin Ali Al Harby رحمه اللّٰه. Dan itu adalah kitab yang sangat bagus dalam hal mendustakan anggapan/tuduhan ini serta menampakkan Al Haq dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah  dan murid beliau Al ‘Alamah Ibnul Qoyyim رحمه اللّٰه. Lihat juga dalam Syarh Ath Thohawiyah hal. 420-424, Al Majmu’ Ats Tsamin II/193, Adhwaul Bayan X/122).

Tidak ada yang berpendapat tentang musnahnya seluruh makhluk melainkan segolongan dari Ahlul Kalam Al Mubtadi’in seperti Jahm bin Shofwan dan orang orang yang sefaham dengannya dari golongan Mu’tazilah dan yang sejenis dengan mereka. Ucapan ini batil menyelisihi Kitabulloh dan Sunnah Rosul-Nya serta Ijma (kesepakatan) para Salaful Ummah dan Imam Imam mereka. Sebagaimana dalam masalah ini ada dalil dalil yang menunjukkan kekalnya Surga dan para penghuninya serta dalil yang menunjukkan kekalnya selain itu,  yang tidak mencukupkan lembaran ini untuk menyebutkannya. Dan sungguh golongan golongan dari Ahlu Kalam dan Ahli Filsafat berdalil dengan dalil dalil Aqlaniyah (yang disandarkan kepada akal) tentang tidak musnahnya seluruh makhluk. Wallohu A’lam.

Al Fatawa XVIII/307

Tentang Seseorang yang Sholat Berjamaah dalam Sholat Ruba’iyyah (berjumlah 4 Rokaat), Ia lupa dari Bertasyahud awal dan terlanjur berdiri

Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Timiyyah.

Beliau رحمه اللّٰه ditanya:

Tentang seseorang yang mengerjakan sholat ruba’iyyah (sholat yang jumlahnya 4 rokaat), dengan berjamaah, kemudian ia lupa ber-tasyahud awal,  lantas ia berdiri. Kemudian sebagian dari makmum mengucapkan tasbih, dan ia tidak duduk bahkan imam tersebut menyempurnakan sholatnya lalu bersujud kemudian mengucapkan salam. Para jamaah berkata: “Seyogyanya imam itu duduk pada waktu itu”. Sedangkan sebagian yang lain berkata: “Seandainya imam itu duduk,  maka akan batal sholatnya”. Manakah yang benar dari ucapan ini?

Beliau رحمه اللّٰه menjawab:

Adapun seseorang imam yang luput darinya Tasyahud Awal hingga ia berdiri,  dan telah diucapkan tasbih atas kelupaannya itu akan tetapi ia tidak kembali. Kemudian ia melakukan sujud sahwi sebelum salam, maka sungguh baik apa yang telah ia perbuat. Demikianlah yang benar yang datang dari Rosululloh صلى اللّٰه عليه وسلم.

Orang yang berkata: “Seharusnya imam itu duduk”. Ini adalah perkataan yang salah, bahkan apa yang telah dilakukan oleh imam itulah yang lebih baik. Adapun orang yang mengatakan: “Seandainya imam itu duduk, maka menjadi batal sholatnya,  dalam hal ini ada dua pendapat dikalangan ulama:

a)  Seandainya imam itu kembali (duduk)  maka menjadi batal sholatnya, ini adalah madzhab Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam sebuah riwayat.

b)  Seandainya imam itu kembali (duduk)  sebelum membaca Al Fatihah, maka tidak batal sholatnya dan inilah riwayat yang Masyur dari Imam Ahmad. Wallohu A’lam. (Lihat As Silsilah Ash Shohihah V/586, Faidah dan Al Irwaa’ II/109 no.388).

Al Fatawa XXIII/52

Manakah yang Lebih Utama antara Manghapal Al Qur’an dengan mencari Ilmu?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه اللّٰه ditanya:

Manakah yang lebih utama antara menghapal Al Qur’an dengan mencari Ilmu?

Beliau رحمه اللّٰه menjawab: 

Adapun ilmu yang wajib bagi setiap orang seperti ilmu tentang apa yang Alloh perintahkan dan apa yang Alloh سبحانه وتعالى larang, maka ilmu itu didahulukan daripada menghapal hal hal yang tidak wajib dari Al Qur’an. Sesungguhnya mencari ilmu yang pertama itu hukumnya wajib, dan mencari yang kedua hukumnya mustahab. Dan perkara yang wajib itu didahulukan daripada yang mustahab.

Sedang menghapal Al Qur’an, maka itu lebih didahulukan dari kebanyakan apa apa yang dinamakan ilmu oleh manusia, yang bisa jadi ilmu itu bathil atau sedikit manfaatnya. Menghapal Al Qur’an sebaiknya juga didahulukan dalam pelajaran, yakni bagi  orang orang yang hendak mempelajari ilmu Dien baik dari sisi ushul (pokok pokok) atau furu‘ (cabang cabangnya).

Karena sesungguhnya, yang disyariatkan bagi orang yang memiliki keinginan seperti ini pada waktu waktu tersebut, hendaklah ia mulai dengan menghapal Al Qur’an. Sebab Al Qur’an adalah pokok dari ilmu ilmu Dien.

Beda halnya dengan yang dilakukan oleh kebanyakan Ahlul Bid’ah dari orang orang ajam (selain arob) dan selain mereka, dimana salah seorang dari mereka sibuk dengan ilmu yang tidak ada gunanya. Seperti ilmu kalam, ilmu jidal (perdebatan) atau ilmu perselisihan atau ilmu tentang furu’ (cabang cabang yang jarang/sedikit faedahnya), atau taqlid yang tidak tegak di atas hujah atau perkara ghorib (asing) dari Al Hadits yang tidak shohih,  dan tidak bisa diambil manfaatnya.

Demikian pula mayoritas dari ilmu hitung/matematika yang tidak tegak di atas hujjah, kemudian meninggalkan menghapal Al Qur’an, padahal itu lebih penting dari “ilmu ilmu” tersebut seluruhnya. Maka dalam permasalahan seperti ini harus ada perinciannya.

Kemudian hal yang sangat dituntut dari Al Qur’an,  adalah memahami makna makna serta mengamalkannya. Jika bukan ini yang menjadi tujuan orang yang menghafalnya, maka ia tidak termasuk Ahlul Ilmi wad Dien. Wallohu A’lam.

Al Fatawa XXIII/54

Makan dan Minum dengan cara Berdiri

Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Beliau رحمه اللّٰه ditanya:

Tentang makan dan minum dengan berdiri, apakah hal itu halal ataukah harom ataukah makruh tanzih (makruh yang lebih baik ditinggalkan) ? Dan bolehkah makan dan minum di jalanan sambil berjalan,  jika seseorang memiliki udhur (halangan)  seperti halnya musafir? 

Beliau رحمه اللّٰه menjawab:

Adapun jika disertai udhur (halangan)  maka tidak apa apa. Sungguh telah tsabit bahwa Nabi صلى اللّٰه عليه وسلم:

شَرِبَ مِن مَاءِ زَمْزَمَ وَهُوَ قَائِمٌ٠

“Minum dari air zam zam, sedangkan beliau صلى اللّٰه عليه وسلم dalam keadaan berdiri”. (HR. Bukhori X/XVIII no. 5617, Muslim 2027, Tirmidzi 1882, Ibnu Majah 3422)

Karena tempatnya tidak memungkinkan untuk digunakan duduk, adapun jika tidak disertai adanya keperluan maka dimakruhkan. Sebab telah shohih bahwa Nabi صلى اللّٰه عليه وسلم melarang perbuatan itu. (HR. Muslim (2024-2025-2026), Abu Dawud 3717, Tirmidzi 1878-1881, Ibnu Majah 3424, Ahmad III/199-291,250)

Dengan perincian ini tercapailah penggabungan antara nash nash tersebut. Wallohu A’lam. (Lihat Fath X/84, Zaadul Ma’ad I/149)

Al Fatawa XXXII/206

Dalil dalil Wajibnya Memelihara Jenggot dan Memangkas Kumis

Segala puji bagi Alloh, sholawat dan salam tetap tercurah pada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang tak ada Nabi lagi setelahnya.

Diriwayatkan oleh Bukhori-Muslim dalam shohih keduanya dan juga selain mereka:

عن نافع عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: خالفوا المشركين وفروا اللِّحَى وأحفوا الشوارب٠

(البخاري)

Dari Nafi’ dari Ibnu Umar رضي اللّٰه عنهما berkata: Telah bersabda Rasululloh صلى اللّٰه عليه وسلم:” Bedakanlah kalian dengan orang orang musyrik,  yaitu benyakkanlah jenggotmu dan pangkaslah kumismu”.

ولهما عَنهُ أيضًا: أحفوا الشوارب وأوفوا اللِّحَى. وفي روايةٍ: انهكوا الشوارب وأعفُوا اللِّحَى

“Diriwayatkan pula oleh keduanya, Dari Abdulloh bin Umar رضي اللّٰه عنهما: “Pangkaslah kumis kalian dan biarkan jenggot kalian tumbuh”, dalam satu riwayat lain: “Cukurlah kumis kalian dan biarkan tumbuh jenggot kalian”.

اللِّحَى: adalah nama rambut yang tumbuh pada kedua pipi dan dagu.

Berkata Ibnu Hajar: (وفروا) dengan tasydid fak-nya (وفِّرُوا) berasal dari (التّوْفِيْر), yaitu membiarkan maksutnya biarkanlah banyak, dan (إعفاء اللِّحَى) yaitu, biarkanlah sebagaimana adanya.

Adapun perintah untuk menyelisihi orang orang musyrik,  sebagaimana dijelaskan oleh hadits dari Abi Huroiroh رصي اللّٰه عنه:

أن أهل الشرك يَعْفُونَ شواربهم ويحفون لِحاهم فخالفوهم فاعفوا اللِّحَى وأحفوا الشّوارِبَ٠

“Sesungguhnya orang musyrik itu mereka membiarkan kumis mereka tumbuh dan mencukur jenggot mereka. Maka bedakanlah dengan mereka,  yaitu biarkanlah jenggot kalian tumbuh dan cukurlah kumis kalian”.

Diriwayatkan oleh Al Bazzar dengan sanad yang hasan.

Dari Abu Huroiroh juga diriwayatkan oleh Muslim:

قل رَسُوْلُ اللّٰه صلى اللّٰه عليه وسلم: خالفوا الْمَجُوْسَ لأَنّهُمْ كانوا يُقَصِّرُونَ لِحاهم ويطولون الشّوَارِبَ٠

Rosululloh صلى اللّٰه عليه وسلم bersabda: “Bedakanlah kalian dengan orang orang Majusi,  karena sesungguhnya mereka (orang orang majusi) memendekkan jenggot dan memanjangkan kumisnya.

Ibnu Hibban meriwayatkan dari Ibnu Umar  رضي اللّٰه عنهما dia berkata: 

وَلاِبنِ حِبّان عَنِ بن عمر قال: ذكر رسول اللّٰه صلى اللّٰه عليه وسلم المجوس فقال: إنهم يوفرون سبالهم ويحلقون لحاهم فخا لفوهم، فكان يحفني سباله

“Rosululloh صلى اللّٰه عليه وسلم telah menyebutkan tentang orang orang majusi. Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka memenjangkan kumis dan mencukur jenggot, maka bedakanlah kalian dengan mereka”. Lalu Beliau (Rosululloh صلى اللّٰه عليه وسلم menampakkan pemotongan kumisnya kepadaku (Ibnu Umar) )”.

عن أبي هريرة رصي اللّٰه عنه قال: قال رسول اللّٰه صلى اللّٰه عليه وسلم: مِن فطرة الإسلام أخذ الشارب وإعفاء اللِّحى فإن المجوس تعفي شوا ربها وتحفي لحاها فخلفوهم خذوا شواربكم وأعفوا لحاكم٠

“Dari Abu Huroiroh رصي اللّٰه عنه berkata: Telah bersabda Rosululloh صلى اللّٰه عليه وسلم “Termasuk fitroh Islam, memotong kumis dan membiarkan jenggot tumbuh. Sesungguhnya orang-orang Majusi membiarkan kumisnya dan mencukur jenggotnya. Maka bedakanlah dengan mereka,  yaitu pangkaslah kumis kalian dan biarkanlah tumbuh jenggot kalian”.

Di dalam shohih Muslim dari Ibnu Umar رصي اللّٰه عنهما dari Nabi صلى اللّٰه عليه وسلم sedungguhnya beliau bersabda:

أمرنا بإحْفاءِ الشواربِ وإعفاءِ اللِّحْيَةِ٠

“Kami diperintah untuk memangkas kumis dan membiarkan tumbuh jenggot”.

Diriwayatkan pula oleh Muslim dari Abi Huroiroh رصي اللّٰه عنه bersabda Rosululloh صلى اللّٰه عليه وسلم:

خَزُّوا الشوارب وأرْخُوا اللِّحَى٠

Potonglah kumis kalian dan panjangkanlah/biarkanlah jenggot kalian”.

Makna (جَزُّوْا) dan (قَصُّوْا) adalah potonglah. Dan makna (أرْخُوْ) dan (طيّلُوْا): adalah panjangkanlah atau diartikan juga biarkanlah.

Hadits hadits yang diriwayatkan dengan lafadz (قَصُّوْا = pangkaslah) tidak meniadakan (الإحْفَاءُ = mencukur). Karena sesungguhnya riwayat (الإحْفَاءُ) ada di dalam Bukhori-Muslim: dan sama maksutnya.

Dalam suatu riwayat: 

أوْفُوا اللِّحَى

“(Biarkanlah/perbanyaklah jenggot kalian). Maksutnya biarkanlah jenggot kalian penuh”.

Sumber: تحريم حلق اللى

Penulis: Abdurrohman bin Muhammad bin Qosim Al Hambali

Hukum Demonstrasi

 

Ditulis oleh:

Abul Jauhar Adam bin Ahmad

Al Bandawiy Al Amboniy Al Indonesiy

Di

Darul Hadits Dammaj

-harosahalloh-

 

Editor

Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo

Al Jaawiy Al Indonesiy

-hafizhohullohu ta’aala wa jazaahullohu khoiron-

بسم الله الرحمن الرحيم

aMukaddimah

 

 إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله

يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون] ال عمران:102 [

يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونساء واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيبا ]النساء:1[

          يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا . يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم

 ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما ]الأحزاب:70[

أما بعد:

          فان أصدق الحديث كتاب الله، وأحسن الهدي هدي محمد، وشر الامور محدثاتها، وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار.

 

Menasihati pemerintah untuk menjalankan tugasnya selaku penguasa adalah perkara yang wajib. Terlebih lagi jika perkara tersebut berhubungan dengan perkara halal dan haram dalam syariat Islam. Tentunya metode yang dipakai dalam menasihati penguasa/pemerintah adalah dengan mengambil cara nasihat yang baik dan benar, yaitu disertai dengan bimbingan dari Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman para ulama sunnah. Yang demikian itu karena apabila seseorang yang berkehendak untuk menasihati pemerintah tanpa disertai dengan bimbingan dan tuntunan dari Al Qur’an dan As Sunnah maka ia pun akan terjatuh dalam berbagai penyimpangan dan kemungkaran tanpa ia sadari. Maka, wajib bagi seseorang yang berkeinginan menasihati pemerintah agar mempelajari terlebih dahulu dengan matang etika-etika dalam menasihati penguasa.

Demonstrasi sebagaimana yang sudah tidak asing lagi didengar di kalangan masyarakat adalah di antara metode yang dipakai oleh mereka untuk menasihati pemerintah dan untuk menuntut hak rakyat, dalam kata lain agar pemerintah dapat berlaku adil terhadap rakyatnya. Namun, hal ini sangatlah disayangkan, masyarakat tidak memandang terlebih dahulu dampak negatif yang timbul karena disebabkan oleh demonstrasi ini. Mereka hanyalah berpikir bahwa metode ini baik dan cocok dalam menasihati pemerintah.

Perlu diketahui bahwa nasihat-menasihati adalah wajib hukumnya dalam syariat Islam. Sama saja apakah nasihat menasihati itu terjadi antara ia dan keluarganya, temannya, kaumnya, penguasa negerinya, ataukah sebaliknya maka semua itu diperintahkan oleh syariat. Alloh subhaanahu wa ta’aala berfirman yang mengisahkan tentang nabi Ibrahim ‘alais salaam ketika menasihati ayahnya Aazar:

إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا & يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا &يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا & يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا  [مريم : 42 – 45]

“Ingatlah ketika ia (Ibrahim) berkata kepada bapaknya; “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?

Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.

Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Rabb yang Maha Pemurah.

Wahai bapakku, Sesungguhnya aku khawatir bahwa engkau akan ditimpa azab dari Rabb yang Maha pemurah, Maka engkau menjadi kawan bagi syaitan”. [Maryam: 42-45]

Dan Alloh ta’aala berfirman tentang nabi Shalih ‘alaihis salaam dan kaumnya:

وَقَالَ يَا قَوْمِ لَقَدْ أَبْلَغْتُكُمْ رِسَالَةَ رَبِّي وَنَصَحْتُ لَكُمْ وَلَكِنْ لَا تُحِبُّونَ النَّاصِحِينَ  [الأعراف : 79[

 

“Dan aku telah memberi nasehat kepada kalian, tetapi kalian tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat”.[Al A’raaf:79]

Dan Alloh ta’aala berfirman tentang nabi Syu’aib ‘alaihis salaam dan kaumnya:

فَتَوَلَّى عَنْهُمْ وَقَالَ يَا قَوْمِ لَقَدْ أَبْلَغْتُكُمْ رِسَالَاتِ رَبِّي وَنَصَحْتُ لَكُمْ فَكَيْفَ آَسَى عَلَى قَوْمٍ كَافِرِينَ  [الأعراف : 93[

 

“Maka Syu’aib meninggalkan mereka (kaumnya setelah turunnya adzab) seraya berkata: “Hai kaumku, Sesungguhnya aku telah menyampaikan kepada kalian amanat-amanat Rabbku dan telah memberi nasehat kepada kalian. Maka bagaimana aku akan bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir?”[Al A’raaf:93]

 

Dan Alloh ta’aala berfirman tentang nabi Musa ‘alaihis salaam ketika menasihati Fir’aun:

وَقَالَ مُوسَى يَا فِرْعَوْنُ إِنِّي رَسُولٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ & حَقِيقٌ عَلَى أَنْ لَا أَقُولَ عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ قَدْ جِئْتُكُمْ بِبَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ فَأَرْسِلْ مَعِيَ بَنِي إِسْرَائِيلَ  [الأعراف :104-105]

“Dan Musa berkata: “Hai Fir’aun, Sesungguhnya aku ini adalah seorang utusan dari Rabb semesta alam,

Wajib atasku tidak mengatakan sesuatu terhadap Alloh, kecuali yang hak. Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa bukti yang nyata dari Rabb kalian, Maka lepaskanlah Bani Israil (pergi) bersama aku”. [Al A’raaf:104-105]

Dari Jariir bin Abdillah radhiyAllohu ‘anhu berkata:

 )) بايعت رسول الله صلى الله عليه و سلم على إقام الصلاة وإيتاء الزكاة والنصح لكل مسلم((

Aku telah mambai’at Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat dan menasihati setiap muslim” [Muttafaqun’alaih]

عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِىِّ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الدِّينُ النَّصِيحَةُ » قُلْنَا لِمَنْ قَالَ « لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ ».

Dari Tamim bin Aus Ad Daary radhiyallohu ‘anhubahwasanya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Agama itu nasihat. Kami berkata: Untuk siapa? Beliau berkata: Untuk Alloh, Kitab-Nya, rasul-Nya, para penguasa umat Islam dan orang awam mereka.”[Diriwayatkan oleh Al Imam Muslim]

Dalam riwayat Abu Dawud:

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ: « إِنَّ الدِّينَ النَّصِيحَةُ إِنَّ الدِّينَ النَّصِيحَةُ إِنَّ الدِّينَ النَّصِيحَةُ ». قَالُوا لِمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لِلَّهِ وَكِتَابِهِ وَرَسُولِهِ وَأَئِمَّةِ الْمُؤْمِنِينَ وَعَامَّتِهِمْ وَأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ ».

“Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Agama itu nasihat, Agama itu nasihat, Agama itu nasihat.”

Para sahabat berkata: “Untuk siapa wahai Rasulullah?”

Beliau berkata: “Untuk Alloh, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para penguasa umat Islam dan orang awam mereka.

Dan dalil-dalil lainnya yang menunjukkan bahwa nasihat-menasihati adalah wajib hukumnya.

          Adapun Demonstrasi bukanlah termasuk dari bentuk nasihat-menasihati yang diajarkan oleh syariat Islam dan bahkan dia merupakan suatu bentuk amalan dari amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang kafir yang diimpor oleh umat Islam ke dalam negeri-negeri mereka, wallohul musta’aan.

///

aHukum Demonstrasi

Demonstrasi adalah haram hukumnya dikarenakan beberapa bahaya dan penyimpangan yang terjadi di dalamnya.

Dan Ulama Sunnah telah mengeluarkan fatwa tentang haramnya Demonstrasi ini. Di antara mereka adalah seperti Asy Syaikh Nashiruddin Al AlBaani rahimahullah, Asy Syaikh Ibn Bazz rahimahullah, Asy Syaikh Al Utsaimin rahimahullah, Asy Syaikh Muqbil Al Waadi’iy rahimahullah, Syaikhuna Yahya Al Hajuury hafidzahullah,Fatwa Al Lajnah Ad Daaimah dan selain mereka dari Ulama Sunnah. [Ini disebutkan oleh Akhunal Faadhil Adnan Ad Dzammaary hafidzahullah dalam risalahnyaHukmul Mudzaaharaat wa ma fiiha minal Munkaraat” hal.3 ]

///

 

aBahaya serta Penyimpangan  dalam Demonstrasi

Berikut beberapa bentuk bahaya dan penyimpangan  yang ada dalam Demonstrasi adalah sbb:

1.Tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang-orang kafir

Alloh subhaanahu wa ta’aala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ كَفَرُوا  [آل عمران : 156]

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir  itu.[Ali Imran:156]

Dan Alloh ta’aala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَعَذَابٌ أَلِيمٌ _ مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا الْمُشْرِكِينَ أَنْيُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَاللَّهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُوالْفَضْلِ الْعَظِيمِ_

 

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian katakan (kepada Muhammad) “Raa’ina” tetapi katakanlah “Undzurna” dan dengarlah. Dan bagi orang-orang kafir adzab yang pedih.

Orang-orang kafir dari Ahlul Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepada kalian dari Rabb kalian. Dan Alloh menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian) ; Dan Alloh mempunyai karunia yang besar.[Al Baqarah:104-105]

Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya (1/374):

“Padanya terdapat dalil yang menunjukkan larangan keras dan ancaman menyerupai orang-orang kafir dalam berbagai ucapan, amalan, busana, hari perayaan dan berbagai ibadah mereka dan yang selain itu dari perkara-perkara mereka yang tidak disyariatkan kepada kita dan janganlah kita mengikrarkan akan perbuatan-perbuatan mereka tsb.

Dan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 من تشبه بقوم فهو منهم

 

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia tergolong dari mereka.” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad dari Ibnu ‘Umar radhiyAllohu ‘anhuma. Hadits jayyid].

          Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahdalam “Iqtidhaus Shiraatil Mustaqiim” halaman 83:

Dan hadits ini minimal mengandung pengharaman untuk menyerupai orang-orang kafir… ….

Berkata Abul Ma’aali Mahmuud Syukri Al Aaluusi dalam “Masaailul Jahiliyah” (1/29):

 “Dan tasyabbuh (penyerupaan) itu mencakup seluruh penyerupaan yang terjadi pada hari perayaan, tingkah laku, busana, berbagai ucapan dan yang selain itu.

2. Demonstrasi menimbulkan berbagai macam kerusakan

Demonstrasi memunculkan berbagai macam kerusakan seperti, perusakan sarana pemerintah di jalan-jalan dan lain sebagainya.

Alloh ta’aala berfirman tentang orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ ! أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ!

 

“Dan bila dikatakan kepada mereka:”Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya Kami orang-orang yang Mengadakan perbaikan.”

Ingatlah, Sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” [Al Baqarah: 11-12]

Berkata Al Allamah As Sa’diy dalam tafsirnya (1/42):

“Maka mereka mengumpulkan tindakan perusakan di muka bumi dan menampakkan bahwa itu bukanlah termasuk tindakan perusakan bahkan perbaikan dengan maksud memutarbalikan fakta dan menggabungkan antara perbuatan yang batil dan keyakinan akan benarnya (perbuatan perusakan yang mereka lakukan)”.

Dan telah kita lihat hal ini muncul dari para demonstran dengan alasan sebagai nasihat berupa tuntutan hak masyarakat ataukah agar penguasa dapat bersikap adil dalam menetapkan suatu perkara. Namun, pada hakikatnya ini bukanlah nasihat yang diajarkan oleh syariat Islam sebagaimana yang mereka sangka, bahkan merupakan bentuk perusakan di muka bumi. Dan tindakan perusakan di muka bumi adalah haram hukumnya menurut Islam.

Alloh ta’aala berfirman:

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا  [الأعراف : 56]

“Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Alloh) memperbaikinya.”

Dan Alloh ta’aala berfirman:

وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ  [البقرة : 27]

 

“Dan membuat kerusakan di muka bumi. mereka Itulah orang-orang yang rugi.” [Al Baqarah:27]

Dan Alloh ta’aala berfirman:

وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ  [الرعد : 25]

 

“… dan mereka mengadakan perusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan (laknat) dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).” [Ar Ra’d:25]

Dan Alloh ta’aala berfirman:

وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ  [القصص : 77[

 

“Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Alloh telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”[Al Qashash:77]

 

          Dan Alloh ta’aala berfirman:

وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ  [الأعراف : 74]

“ Dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.” [Al A’raaf:74]

          Dan dalil-dalil yang lainnya yang mencela dan melarang melakukan kerusakan di muka bumi. Dan demonstrasi adalah termasuk dari melakukan tindakan perusakan di muka bumi seperti; perusakan berbagai sarana pemerintah di jalan-jalan dan lain sebagainya.

 

3. Demonstrasi merupakan sebab terjadinya perkelahian dan pembunuhan antara sesama muslim

          Di samping para Demonstran melakukan berbagai macam kerusakan di saat melakukan demonstrasi tersebut, bahkan terjadi pula bentrok dengan aparat keamanan. Sementara Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam  telah bersabda:

 “الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ.

Orang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidaklah ia mendzaliminya, menghinakannya dan tidak merendahkannya.” [H.R. Muslim]

Dan beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ ».

Orang Islam atas orang Islam lainnya adalah haram darahnya (untuk ditumpahkan), hartanya (diambil) dan kehormatannya.” [H.R. Muslim]

Dan Demonstrasi bukanlah  termasuk di antara bentuk nasihat kepada penguasa/pemerintah sebagaimana yang telah  disangka oleh sebagian orang.

 

4. Demonstrasi merupakan sebab terjadinya pemberontakan kepada Pemerintah baik dengan perkataan ataukah perbuatan.

 

5. Demonstrasi adalah di antara tindakan penghinaan kepada Pemerintah

 

          Rasulullah sallallohu ‘alaihi wa sallam melarang siapa yang menghina dan merendahkan pemerintah. Beliau sallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

” من أكرم سلطان الله تبارك و تعالى في الدنيا أكرمه الله يوم القيامة ، و من أهان سلطان الله تبارك و تعالى في الدنيا أهانه الله يوم القيامة ” . أخرجه أحمد ( 5 / 42 ، 48 – 49 ) بهذا التمام و الطيالسي ( 2 / 167 )

السلسلة الصحيحة المجلدات الكاملة 1-9 – (5 / 296)

Barangsiapa yang memuliakan pemerintah Allah (yang Allah pilih ia berkuasa di dunia) di dunia maka Allah akan memuliakan ia nanti di Hari Kiamat, dan baransiapa yang menghinakan pemerintah Allah (yang Allah pilih ia berkuasa di dunia) di dunia maka Allah akan menghinakannya nanti di Hari Kiamat.” [Diriwayatkan oleh Ahmad (5/42, 48-49) dengan lafadz yang sempurna dan Ath Thoyaalisy (2/167) dan dihasankan oleh Al Imam Al Albany rahimahullah dalam “Silsilah As Shohihah” (5/296)]

///

  

aFatwa Sebagian Ulama Sunnah seputar Demonstrasi 

Berkata Akhuunal Faadhil Abu Fairuz Al Indonesy hafizhohullahu ta’aala dalam kitabnya “At Tajliyah Li Amaaraatil Hizbiyyah” hal.380: ”dan perbuatan (demonstrasi) ini dikenal di kalangan hizbiyyiin. Dan Fadhiilatus Syaikh Shalih bin Sa’d As Suhaimy hafizhohullahu ta’aala telah membantah mereka, beliau berkata: “Dan adapun tergambarnya seseorang bahwa sekedar penisbatan kepada kelompok-kelompok ataukah berbagai bai’at dan upacara ritual seperti pemberontakan, rekreasi dan yang dinamai dengan nasyid-nasyid, pantomim yang bersifat keagamaan, syiar’syiar indah, demonstrasi, bolehnya masuk dalam berbagai pemilu dan parlemen dan yang semisal itu yang ditempuh secara bertahap-tahap oleh kelompok-kelompok ini –sampai pada ucapan beliau– maka perbuatan ini tanpa diragukan lagi adalah penggambaran yang salah, jauh sekali dari petunjuk Islam, dan ini tidaklah diridhai oleh siapa yang padanya masih terdapat sebiji atom dari keimanan dan ilmu serta akal yang kuat. [“An Nashrul ‘Aziiz” karya Asy Syaikh Robi’ hafizhohullahu ta’aala hal.46-47perpustakaan Al Furqaan]

Dan berkata Asy Syaikh Ahmad An Najmy rahimahullahdalam bantahannya terhadap Al Ikhwanul Muslimiin: “Observasi Kedua Puluh Tiga:” Tata tertib Demonstrasi: Dan Islam tidaklah mengakui dan mengikrarkan perbuatan ini  bahkan perbuatan ini adalah perkara baru (dalam agama Islam) termasuk dari perbuatan-perbuatannya orang-orang kafir, dan telah diimpor perbuatan ini dari mereka kepada kita. Apakah setiap perbuatannya orang-orang kafir kita jalankan dan kita ikuti? Sesungguhnya Islam tidaklah tertolong dengan adanya demonstrasi……. sampai akhir perkataan beliau .”

Dan berkata Asy Syaikh Shalih Fauzaan hafizhohullahu ta’aala : “Agama kita bukanlah agama anarki, agama kita adalah agama disiplin, agama tata tertib, dan agama ketenangan, sementara (demonstrasi) bukanlah termasuk dari perbuatannya umat Islam, dan tidaklah umat Islam mengenalnya –sampai pada perkataan beliau– demonstrasi-demonstrasi ini menimbulkan fitnah yang banyak, menimbulkan pertumpahan darah, dan menimbulkan perusakan terhadap harta-harta benda, ….” sampai akhir ucapan beliau[Al Ajwibah Al Mufiidah” karya Al Haaritsy hal. 217-218/ Darul Minhaaj].

Dan berkata Asy Syaikh Robi’ hafizhohullahu ta’aala: “Sesungguhnya Abdurrohman (bin Abdul Kholiq) mengumumkan adanya kebatilan pada Salafiyiin bahwa mereka fanatik pada ulama-ulama Islam sementara dirinya sendiri fanatik buta pada musuh-musuh Islam  dalam demonstrasi dan pemilu dan menyeru untuk bekerjasama dalam parlemen-parlemen, dan fanatik dalam bolehnya berbilangnya kelompok-kelompok.”[“Jamaa’atun Waahidah” hal.38Darul Minhaaj].”[sampai di sini penukilan dari kitab “At Tajliyah li Amaaaraatil Hizbiyyah” karya Abu Fairuz].

Berkata Asy Syaikh Abdul Muhsin ‘Abbad waffaqohullahdalam syarah Sunan Abi dawud jilid 27 halaman 369 dengan konteks sbb:

Pertanyaan: Apa hukumnya demonstrasi yang dilakukan dengan tujuan terwujudnya kemaslahatan umat. Apakah ini termasuk dari bentuk pemberontakan?

Jawab: Demonstrasi adalah bentuk dari kedunguan dan tindakan anarki.”

Selesai sampai di sini nasihat yang ana inginkan untuk disampaikan pada kaum Muslimin di tanah air Indonesia dan memberi taufiq kepada pemerintahnya, semoga Alloh memberkahinya .

Selesai, awal Robi’uts Tsani 1432 H

Di Darul Hadits Dammaj

-harosahalloh-